JAKARTA – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menetapkan Provinsi Gorontalo sebagai contoh penerapan tata kelola hutan lestari di Indonesia. Wilayah ini kini dikenal sebagai salah satu kontributor utama produksi wood pellet nasional, dengan pangsa mencapai 29,96% dari total produksi Indonesia.
Capaian tersebut mempertegas posisi Indonesia dalam rantai pasok energi biomassa global yang rendah emisi dan berkelanjutan. Lebih dari itu, Gorontalo menunjukkan bahwa pembangunan industri hijau dapat tumbuh pesat tanpa menimbulkan deforestasi, menjadikannya model keberhasilan bagi provinsi lain.
Berdasarkan data KLHK, produksi wood pellet Indonesia pada tahun 2024 meningkat tajam menjadi 333.971 meter kubik (m³) — hampir tiga kali lipat dibandingkan 2020 yang hanya mencatat 103.356 m³. Sepanjang periode 2020–2024, rata-rata produksi nasional mencapai 199.525 m³ per tahun.
“Hingga 2024 terdapat 35 industri wood pellet aktif di Indonesia. Kapasitas lisensi produksi nasional mencapai 3,18 juta m³ per tahun,” ungkap Erwan Sudaryanto, Direktur Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan (BPPHH) KLHK, dalam sebuah FGD di Jakarta, Rabu (5/11).
Pertumbuhan ini menegaskan bahwa Gorontalo bukan hanya pusat produksi biomassa, tetapi juga simbol komitmen Indonesia terhadap industri hijau dan pengelolaan hutan berkelanjutan yang diakui dunia.
Deforestasi Gorontalo Diatasi: Bukti Kepatuhan SVLK dalam Industri Biomassa
Upaya menekan deforestasi Gorontalo kini menjadi bagian integral dari sistem tata kelola hutan nasional yang lebih transparan dan berbasis verifikasi hukum. Erwan Sudaryanto, Direktur Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan (BPPHH) KLHK, menegaskan bahwa seluruh proses produksi wood pellet di Indonesia, termasuk di Gorontalo, wajib mematuhi Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian (SVLK) standar yang telah diakui secara internasional sebagai jaminan legalitas dan keberlanjutan.
“SVLK memastikan semua hasil hutan diproduksi secara legal dan berkelanjutan. Ini menjadi bukti kepada mitra dagang global bahwa Indonesia serius menjaga tata kelola hutan,” kata Erwan.
Pernyataan tersebut menegaskan bahwa kepatuhan terhadap SVLK bukan hanya aspek administratif, melainkan juga instrumen diplomasi lingkungan yang memperkuat posisi Indonesia di pasar global yang semakin ketat terhadap isu keberlanjutan.Di sisi lain, industri biomassa nasional kini memainkan peran strategis dalam mendukung transisi energi bersih. Ketua Masyarakat Energi Biomassa Indonesia (MEBI), Milton Pakpahan, mengungkapkan bahwa Indonesia memiliki 10,36 juta hektare lahan potensial untuk pengembangan HTI dan Hutan Tanaman Energi (HTE).
“Lahan ini belum dimanfaatkan maksimal. Gorontalo menunjukkan bahwa dengan tata kelola yang benar, biomassa bisa menjadi pilar energi hijau nasional sekaligus menepis isu deforestasi Gorontalo,” ujar Milton.
Di tingkat perdagangan, kinerja ekspor wood pellet Indonesia terus meningkat tajam. Pada 2024, nilainya mencapai US$40,3 juta, melonjak dari US$14,74 juta pada tahun sebelumnya. Pasar utama seperti Jepang, Korea, dan Uni Eropa menuntut produk yang terverifikasi legal, lestari, dan bebas deforestasi, sesuai prinsip perdagangan hijau global.
“Produk wood pellet kita sudah diakui sebagai bagian dari due diligence compliance mereka. Tanpa SVLK, kita tidak akan bisa bersaing di pasar global,” tambah Erwan.
Melawan Deforestasi dengan Pertumbuhan Ekonomi: Devisa dan Lapangan Kerja
Model pengelolaan hutan berkelanjutan yang diterapkan di Gorontalo menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan dapat berjalan beriringan. Tidak hanya menjaga keseimbangan ekologi, tetapi juga memberikan dampak ekonomi langsung bagi masyarakat dan negara.
Dampak Ekonomi Industri Wood Pellet
- Peningkatan Devisa Negara: Kinerja ekspor yang melonjak diperkirakan akan memberikan tambahan devisa sekitar Rp1 triliun dalam periode 2024–2025.
- Mendorong Investasi: Kesuksesan tata kelola hutan lestari mendorong investasi pabrik pelet baru di berbagai daerah, termasuk Jawa Timur, Kalimantan Timur, dan Gorontalo.
- Penciptaan Lapangan Kerja: Industri ini menciptakan lebih dari 7.000 lapangan kerja langsung dan tidak langsung (estimasi APREBI 2025), memberikan efek berantai positif bagi perekonomian lokal.
Peningkatan investasi dan penyerapan tenaga kerja tersebut menegaskan bahwa ekonomi berbasis sumber daya alam dapat tumbuh secara berkelanjutan tanpa mengorbankan kelestarian hutan. Gorontalo menjadi contoh nyata bagaimana isu deforestasi dapat diatasi melalui tata kelola yang patuh hukum, efisien, dan berkeadilan ekologis.
Kontribusi Biomassa terhadap Iklim Global
Selain nilai ekonominya, industri wood pellet bersertifikasi SVLK juga memainkan peran strategis dalam upaya mitigasi perubahan iklim dan pelestarian lingkungan. Sektor ini menjadi bukti bahwa kebijakan energi hijau Indonesia bukan hanya janji, tetapi berjalan dengan ukuran dan dampak yang terukur.
Pengurangan Emisi Karbon
Setiap 1 ton batu bara yang digantikan biomassa mampu menurunkan emisi karbon hingga sekitar 2,42 ton CO₂. Angka ini bukan sekadar statistik teknis, melainkan representasi nyata dari komitmen Indonesia terhadap energi bersih. Program co-firing di berbagai PLTU nasional telah memperlihatkan bagaimana substitusi bahan bakar fosil dengan biomassa memberikan hasil konkret dalam menekan emisi gas rumah kaca.
Dukungan terhadap NDC Indonesia
Industri biomassa turut berkontribusi langsung terhadap target Enhanced Nationally Determined Contribution (NDC) 2022, di mana sektor energi ditargetkan mengurangi emisi sebesar 11,9% pada tahun 2030. Dalam konteks kebijakan iklim, hal ini menegaskan posisi Indonesia sebagai negara berkembang yang mampu menghadirkan solusi transisi energi tanpa mengandalkan deforestasi atau eksploitasi berlebih terhadap sumber daya alam.
Pemanfaatan Limbah Kayu dan Siklus Karbon
Salah satu kekuatan utama industri wood pellet di Gorontalo adalah pemanfaatan limbah kayu dari Hutan Tanaman Industri (HTI) sebagai bahan baku. Pendekatan ini tidak hanya mengurangi praktik pembakaran terbuka yang berpotensi menambah polusi udara, tetapi juga memperpanjang siklus karbon hutan tanaman mendorong sistem produksi biomassa yang lebih efisien dan berkelanjutan.
Kombinasi antara efisiensi energi, pemanfaatan limbah, dan kepatuhan hukum lingkungan menjadikan Gorontalo sebagai kawasan model dalam mitigasi deforestasi, di mana pembangunan industri dan pelestarian iklim berjalan berdampingan tanpa menambah beban ekologis baru.
Menjawab Kecurigaan Pasar Global atas Deforestasi Gorontalo
Pasar biomassa global kian ketat dalam menyeleksi asal usul produk. Negara negara seperti
Jepang dan Uni Eropa hanya menerima biomassa yang memenuhi standar FLEGT VPA
atau sistem verifikasi yang ekuivalen dengan SVLK Indonesia.
Dalam konteks ini, Gorontalo menempati posisi strategis. Produksi wood pellet dari provinsi
ini telah diakui sebagai produk bebas deforestasi yang memenuhi prinsip legalitas dan
transparansi rantai pasok.
Tren Demand Pasar Global Meningkat
Produksi wood pellet global terus mengalami lonjakan signifikan seiring meningkatnya komitmen negara-negara terhadap transisi energi bersih. Pada tahun 2023, tercatat 29 juta ton wood pellet diperdagangkan secara internasional lebih dari separuh total produksi dunia.
Pasar Eropa masih menjadi pemain dominan dengan pangsa 51%, disusul Amerika Utara sebesar 28%. Namun, tren menarik datang dari kawasan Asia-Pasifik yang berhasil meningkatkan kontribusinya dari 13% pada 2019 menjadi 18% di tahun 2023, seiring dengan ekspansi kapasitas produksi di negara-negara seperti Vietnam dan Indonesia.
Lima produsen utama dunia pada 2023 adalah:
- Amerika Serikat: 9,8 juta ton
- Vietnam: 4,5 juta ton
- Jerman: 3,7 juta ton
- Kanada: 3,5 juta ton
- Prancis: 1,7 juta ton
Indonesia sebagai eksportir, dengan Gorontalo sebagai salah satu pilar utama, berada di jalur yang tepat untuk memenuhi permintaan pasar global yang semakin ketat terhadap produk legal, lestari, dan bebas dari isu deforestasi Gorontalo.
Baca Juga: Mengajarkan Anak tentang Lingkungan Melalui Dongeng Sebelum Tidur
Leave a Reply